OTA - Pemkot Pekalongan, dalam hal ini Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi (Disperindagkop) dan UMKM Kota Pekalongan, mengakui tak bisa mengendalikan harga sejumlah bahan baku batik yang akhir-akhir ini melonjak cukup drastis.
"Kita hanya bisa mengimbau, dan mendorong Pemerintah Pusat untuk menstabilkan harga bahan baku batik. Keinginan dari para pengrajin batik kita sampaikan, untuk mendapat perhatian Pemerintah. Misalnya saja harga gondorukem. Itu bukan merupakan kebijakan lokal di sini, melainkan dari Pusat," ungkap Kasubbid Perindustrian, Bambang Sudarmadi Djoyorekso, Rabu (13/11).
Seperti halnya saat terjadi lonjakan harga gondorukem yang sangat tinggi pada kurun waktu satu hingga dua tahun silam. Pemkot Pekalongan hanya bisa melakukan upaya fasilitasi, supaya harga kembali stabil.
Diantaranya, dengan mengundang pihak-pihak terkait, baik itu dari Perhutani, supplier bahan baku, hingga kalangan pengusaha dan pengrajin batik. "Saat itu kita juga mendorong, supaya ada kebijakan harga gondorukem untuk lokal lebih rendah dari harga pasaran dunia, atau harga ekspor," imbuhnya.
Melonjaknya harga bahan baku batik, seperti gondorukem, BBM Pertamina, kain batik, hingga malam untuk membatik, dikeluhkan oleh para pengrajin batik di Kota Pekalongan yang rata-rata merupakan industri kecil dan menengah. "Jika harga bahan baku batik terus naik, hingga tak bisa dijangkau lagi oleh kalangan industri kecil dan menengah, maka akan banyak pengrajin batik yang akan menghentikan produksinya sementara," kata Ketua Serikat Pengrajin Batik Pasirsari (Serbapass) Kota Pekalongan, Sodikin HS.
Lonjakan harga bahan baku yang saat ini dirasakan cukup berat antara lain adalah gondorukem. Lonjakan harga sebenarnya sudah terjadi terus menerus sejak tiga tahun lalu. Namun kembali dirasakan lagi pada 1,5 hingga 2 bulan terakhir. Dicontohkan, untuk harga gondorukem yang berkualitas baik, semula hanya Rp16 ribu per kilogram, kini harga ecerannya mencapai Rp 27ribu per kilogram.
Bahkan, Sodikin berani memastikan, kalau harga gondorukem dalam beberapa waktu ke depan menembus angka Rp30 ribu per kilogram, akan banyak pengrajin batik yang berhenti berproduksi.
Bahan baku batik lainnya yang harganya mengalami kenaikan juga terjadi untuk BBM (kerak sisa pengolahan minyak) dari Pertamina. Bahan baku yang oleh para pembatik biasa disebut dengan nama BBM ini, harganya kini mencapai Rp 26 ribu per kilogram. Harga BBM Pertamina ini sejak beberapa hari terakhir sudah mencapai Rp 26 ribu per kilo. Padahal tadinya Rp 15 ribu. Ditambah lagi, lonjakan harga untuk bahan baku batik lainnya, seperti kain mori dan malam batik.
Sodikin mensinyalir, lonjakan harga gondorukem ini dikarenakan adanya kebijakan dari Pemerintah yang mengekspor gondorukem dalam jumlah besar ke pasar luar negeri. Kemudian, harga gondorukem yang ditetapkan adalah menggunakan harga ekspor, atau harga pasaran dunia. Padahal, semestinya Pemerintah lebih mengutamakan untuk pemenuhan industri dalam negeri terlebih dulu. Harga gondorukem untuk dalam negeri pun, diharapkan jangan disamakan dengan harga untuk ekspor.
Adapun pasokan bahan baku batik, menurut Sodikin, memang tidak sampai terjadi kelangkaan. Contohnya gondorukem. Pasokannya cukup melimpah. "Kalau pasokan sih ada. Tetapi ya itu, harganya cukup mahal. Kalau berani dengan harganya ya bisa dapat pasokan," ujarnya.
Produk gondorukem diantaranya berasal dari pabrik gondorukem di Paninggaran, Kabupaten Pekalongan. Kapasitas produksinya, ungkap dia, bisa mencapai sekitar 6.000 ton per tahun. Padahal, kebutuhan gondorukem untuk seluruh Pekalongan hanya berkisar 500 ton per tahun. "Jadi, yang diekspor ke luar negeri lebih besar," ungkapnya.
Meskipun harga bahan baku pembuat batik saat ini naik, namun tidak membuat para pengusaha batik di Pekalongan lantas menaikkan harga jual batiknya. Inipun diakui Sodikin. Para pengrajin memang tidak menaikan harga batiknya, lantaran khawatir apabila hal itu justru akan membuat menurunnya minat beli para konsumen. "Mereka lebih memilih untuk menghentikan sementara produksinya dan menunggu harga bahan baku pembuat batik kembali turun dibandingkan harus menaikkan harga jual batik," tandasnya.
Permasalahan yang dihadapi para pembatik ini, sudah berulangkali disampaikan ke Pemerintah. Salah satunya kepada Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurti, saat berkunjung ke Kota Pekalongan, awal Oktober lalu. Namun sampai saat ini, belum ada perkembangan positif atas keluh kesah yang disampaikan. "Katanya mau ditindaklanjuti, tapi tidak tahu sekarang bagaimana," pungkasnya. (way)
"Kita hanya bisa mengimbau, dan mendorong Pemerintah Pusat untuk menstabilkan harga bahan baku batik. Keinginan dari para pengrajin batik kita sampaikan, untuk mendapat perhatian Pemerintah. Misalnya saja harga gondorukem. Itu bukan merupakan kebijakan lokal di sini, melainkan dari Pusat," ungkap Kasubbid Perindustrian, Bambang Sudarmadi Djoyorekso, Rabu (13/11).
Seperti halnya saat terjadi lonjakan harga gondorukem yang sangat tinggi pada kurun waktu satu hingga dua tahun silam. Pemkot Pekalongan hanya bisa melakukan upaya fasilitasi, supaya harga kembali stabil.
Diantaranya, dengan mengundang pihak-pihak terkait, baik itu dari Perhutani, supplier bahan baku, hingga kalangan pengusaha dan pengrajin batik. "Saat itu kita juga mendorong, supaya ada kebijakan harga gondorukem untuk lokal lebih rendah dari harga pasaran dunia, atau harga ekspor," imbuhnya.
Melonjaknya harga bahan baku batik, seperti gondorukem, BBM Pertamina, kain batik, hingga malam untuk membatik, dikeluhkan oleh para pengrajin batik di Kota Pekalongan yang rata-rata merupakan industri kecil dan menengah. "Jika harga bahan baku batik terus naik, hingga tak bisa dijangkau lagi oleh kalangan industri kecil dan menengah, maka akan banyak pengrajin batik yang akan menghentikan produksinya sementara," kata Ketua Serikat Pengrajin Batik Pasirsari (Serbapass) Kota Pekalongan, Sodikin HS.
Lonjakan harga bahan baku yang saat ini dirasakan cukup berat antara lain adalah gondorukem. Lonjakan harga sebenarnya sudah terjadi terus menerus sejak tiga tahun lalu. Namun kembali dirasakan lagi pada 1,5 hingga 2 bulan terakhir. Dicontohkan, untuk harga gondorukem yang berkualitas baik, semula hanya Rp16 ribu per kilogram, kini harga ecerannya mencapai Rp 27ribu per kilogram.
Bahkan, Sodikin berani memastikan, kalau harga gondorukem dalam beberapa waktu ke depan menembus angka Rp30 ribu per kilogram, akan banyak pengrajin batik yang berhenti berproduksi.
Bahan baku batik lainnya yang harganya mengalami kenaikan juga terjadi untuk BBM (kerak sisa pengolahan minyak) dari Pertamina. Bahan baku yang oleh para pembatik biasa disebut dengan nama BBM ini, harganya kini mencapai Rp 26 ribu per kilogram. Harga BBM Pertamina ini sejak beberapa hari terakhir sudah mencapai Rp 26 ribu per kilo. Padahal tadinya Rp 15 ribu. Ditambah lagi, lonjakan harga untuk bahan baku batik lainnya, seperti kain mori dan malam batik.
Sodikin mensinyalir, lonjakan harga gondorukem ini dikarenakan adanya kebijakan dari Pemerintah yang mengekspor gondorukem dalam jumlah besar ke pasar luar negeri. Kemudian, harga gondorukem yang ditetapkan adalah menggunakan harga ekspor, atau harga pasaran dunia. Padahal, semestinya Pemerintah lebih mengutamakan untuk pemenuhan industri dalam negeri terlebih dulu. Harga gondorukem untuk dalam negeri pun, diharapkan jangan disamakan dengan harga untuk ekspor.
Adapun pasokan bahan baku batik, menurut Sodikin, memang tidak sampai terjadi kelangkaan. Contohnya gondorukem. Pasokannya cukup melimpah. "Kalau pasokan sih ada. Tetapi ya itu, harganya cukup mahal. Kalau berani dengan harganya ya bisa dapat pasokan," ujarnya.
Produk gondorukem diantaranya berasal dari pabrik gondorukem di Paninggaran, Kabupaten Pekalongan. Kapasitas produksinya, ungkap dia, bisa mencapai sekitar 6.000 ton per tahun. Padahal, kebutuhan gondorukem untuk seluruh Pekalongan hanya berkisar 500 ton per tahun. "Jadi, yang diekspor ke luar negeri lebih besar," ungkapnya.
Meskipun harga bahan baku pembuat batik saat ini naik, namun tidak membuat para pengusaha batik di Pekalongan lantas menaikkan harga jual batiknya. Inipun diakui Sodikin. Para pengrajin memang tidak menaikan harga batiknya, lantaran khawatir apabila hal itu justru akan membuat menurunnya minat beli para konsumen. "Mereka lebih memilih untuk menghentikan sementara produksinya dan menunggu harga bahan baku pembuat batik kembali turun dibandingkan harus menaikkan harga jual batik," tandasnya.
Permasalahan yang dihadapi para pembatik ini, sudah berulangkali disampaikan ke Pemerintah. Salah satunya kepada Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurti, saat berkunjung ke Kota Pekalongan, awal Oktober lalu. Namun sampai saat ini, belum ada perkembangan positif atas keluh kesah yang disampaikan. "Katanya mau ditindaklanjuti, tapi tidak tahu sekarang bagaimana," pungkasnya. (way)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar