KOTA - Ketidakstabilan harga bahan baku batik, bahkan cenderung terus menerus mengalami lonjakan, dinilai oleh Harris Riadi, salah seorang pengrajin batik di Kota Pekalongan, sebagai bentuk penyanderaan para pemangku kepentingan kepada para pengrajin batik. Melonjaknya harga bahan baku batik, disinyalir karena ada permainan.
"Kondisi saat ini, nasib para pengrajin batik menengah ke bawah seperti dibunuh terang-terangan oleh situasi. Nasib pengrajin batik, 70 persennya disandera oleh para pemangku kepentingan. Nasib para pembatik jadi tidak jelas. Nasib mereka disandera. Lagi-lagi, wong cilik yang dikorbankan para pemangku kepentingan," ungkapnya, kemarin.
Harris menyatakan, para pemangku kepentingan yang menyandera nasib para pengrajin batik itu terdiri dari berbagai kalangan. Banyak kepentingan yang mempermainkan. Baik itu dari kepentingan dari segi perbankan, pemasaran, pemasok bahan, importir, dan lainnya.
Bahkan, pemilik usaha batik "Green Batik Harris" ini mensinyalir, para pemangku kepentingan yang berwenang mengeluarkan kebijakan penstabilan harga, belum akan peduli dengan nasib para pengrajin batik sebelum Pemilu tahun depan berakhir.
"Mereka (para pemangku kepentingan) masih sibuk mengurusi politik, paling cepat sampai Pemilu depan. Jadi, mereka tidak sempat memikirkan nasib para pembatik yang sudah menjerit akibat harga bahan baku batik yang mahal," beber seniman batik yang terkenal dengan batik dari limbah kertas semen, jins batik, hingga batik kotoran sapi ini.
Peraih penghargaan Inacraft Tahun 2013 ini mencontohkan, dalam beberapa waktu terakhir ini harga bahan baku batik terus saja merangkak naik. Seperti gondorukem, BBM Pertamina, maupun kain mori. Dalam dua hari terakhir saja, imbuh Harris, harga gondorukem sudah tembus Rp 29 ribu perkilogram. Padahal, sehari sebelumnya berada di angka Rp 27 ribu perkilo.
"Harga bahan baku susah diprediksi. Cenderung naik terus. Misal hari ini sekian ribu rupiah, besok sudah beda lagi, atau minggu depan beda lagi. Ini yang menyusahkan. Tidak ada kestabilan harga. Nggak hanya gondorukem. Tapi BBM Pertamin, kain mori, obat batik, dan lainnya," ungkapnya.
Ia mensinyalir, mahalnya harga gondorukem di pasaran lokal antara lain disebabkan banyak produk gondorukem yang diekspor ke luar negeri. Sebab, harga di luar negeri jauh lebih tinggi dibanding harga di dalam negeri.
"Jadi, gondorukem lebih banyak yang diekspor. Yang kita sayangkan, harga gondorukem di dalam negeri, yakni untuk memenuhi kebutuhan lokal, disesuaikan dengan harga untuk ekspor. Harganya sudah harga pasaran dunia. Ini yang menyulitkan para pengrajin batik, utamanya yang kelas menengah ke bawah," tandasnya.
Sementara, meski harga bahan baku naik, para pengrajin batik tidak bisa serta merta menaikkan harga produk batik mereka. "Bagaimana mau menaikkan harga jual batik di pasaran, lha wong daya beli masyarakatnya saja masih lemah. Kalau harganya dinaikkan, ya tambah tidak laku," tukasnya. (way)
"Kondisi saat ini, nasib para pengrajin batik menengah ke bawah seperti dibunuh terang-terangan oleh situasi. Nasib pengrajin batik, 70 persennya disandera oleh para pemangku kepentingan. Nasib para pembatik jadi tidak jelas. Nasib mereka disandera. Lagi-lagi, wong cilik yang dikorbankan para pemangku kepentingan," ungkapnya, kemarin.
Harris menyatakan, para pemangku kepentingan yang menyandera nasib para pengrajin batik itu terdiri dari berbagai kalangan. Banyak kepentingan yang mempermainkan. Baik itu dari kepentingan dari segi perbankan, pemasaran, pemasok bahan, importir, dan lainnya.
Bahkan, pemilik usaha batik "Green Batik Harris" ini mensinyalir, para pemangku kepentingan yang berwenang mengeluarkan kebijakan penstabilan harga, belum akan peduli dengan nasib para pengrajin batik sebelum Pemilu tahun depan berakhir.
"Mereka (para pemangku kepentingan) masih sibuk mengurusi politik, paling cepat sampai Pemilu depan. Jadi, mereka tidak sempat memikirkan nasib para pembatik yang sudah menjerit akibat harga bahan baku batik yang mahal," beber seniman batik yang terkenal dengan batik dari limbah kertas semen, jins batik, hingga batik kotoran sapi ini.
Peraih penghargaan Inacraft Tahun 2013 ini mencontohkan, dalam beberapa waktu terakhir ini harga bahan baku batik terus saja merangkak naik. Seperti gondorukem, BBM Pertamina, maupun kain mori. Dalam dua hari terakhir saja, imbuh Harris, harga gondorukem sudah tembus Rp 29 ribu perkilogram. Padahal, sehari sebelumnya berada di angka Rp 27 ribu perkilo.
"Harga bahan baku susah diprediksi. Cenderung naik terus. Misal hari ini sekian ribu rupiah, besok sudah beda lagi, atau minggu depan beda lagi. Ini yang menyusahkan. Tidak ada kestabilan harga. Nggak hanya gondorukem. Tapi BBM Pertamin, kain mori, obat batik, dan lainnya," ungkapnya.
Ia mensinyalir, mahalnya harga gondorukem di pasaran lokal antara lain disebabkan banyak produk gondorukem yang diekspor ke luar negeri. Sebab, harga di luar negeri jauh lebih tinggi dibanding harga di dalam negeri.
"Jadi, gondorukem lebih banyak yang diekspor. Yang kita sayangkan, harga gondorukem di dalam negeri, yakni untuk memenuhi kebutuhan lokal, disesuaikan dengan harga untuk ekspor. Harganya sudah harga pasaran dunia. Ini yang menyulitkan para pengrajin batik, utamanya yang kelas menengah ke bawah," tandasnya.
Sementara, meski harga bahan baku naik, para pengrajin batik tidak bisa serta merta menaikkan harga produk batik mereka. "Bagaimana mau menaikkan harga jual batik di pasaran, lha wong daya beli masyarakatnya saja masih lemah. Kalau harganya dinaikkan, ya tambah tidak laku," tukasnya. (way)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar